Kamis, 19 Agustus 2010

ABSTRAK




Inda Ayu Lestari. 20206468
PENGARUH MOTIVASI BELAJAR, MINAT BELAJAR, DAN ADVERSITY QUOTIENT MAHASISWA AKUNTANSI TERHADAP PRESTASI BELAJAR AKADEMIK(Studi Kasus Prodi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi di Salah Satu PTS di Jakarta). Skripsi.
Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, 2010.
Kata Kunci : Motivasi, Minat, Adversity Quotient.


Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh dari motivasi belajar, minat belajar, dan adversity quotient terhadap prestasi belajar akademik mahasiswa akuntansi baik secara parsial maupun bersama-sama.
Survey dilakukan dengan penyebaran kuesioner terhadap mahasiswa S1 akuntansi Fakultas Ekonomi di salah satu PTS di Jakarta. Data diolah dan dianalisis dengan model statistik regresi linear berganda menggunakan uji T dan uji F dengan bantuan perangkat lunak SPSS versi 17.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial dengan menggunakan uji T, bahwa variabel motivasi belajar dan minat belajar berpengaruh secara signifikan terhadap pencapaian prestasi akademik. Namun pada variabel adversity quotient tidak berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan prestasi akademik mahasiswa S1 akuntansi Fakultas Ekonomi di salah satu PTS di Jakarta. Sedangkan secara bersama-sama dengan menggunakan uji F, bahwa variabel motivasi belajar, minat belajar dan adversity quotient berpengaruh secara signifikan terhadap pencapaian prestasi akademik mahasiswa S1 akuntansi Fakultas Ekonomi di salah satu PTS di Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA (2000-2009)

Sedang Dalam Proses Pembuatan Jurnal Nasional

Senin, 07 Juni 2010

Hal-hal yang harus diperhatikan pada minat

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada minat ini, yaitu: ( Suranta dan Muhammad Syafiqurrahman, 2006 )
1. Minat dianggap sebagai perantara faktor-faktor motivasional yang mempunyai dampak pada suatu perilaku seseorang.
2. Minat menunjukkan seberapa keras seseorang berani mencoba melakukan sesuatu.
3. Minat menunjukkan seberapa banyak upaya yang diusahakan seseorang untuk melakukan sesuatu.
4. Minat menunjukkan seberapa suka seseorang terhadap sesuatu.

KEKUATAN MOTIVASI

Menurut Ishak Arep dan Tanjung Hendri (2003), ada enam kekuatan yang harus dimiliki seseorang. Adapun kekuatan tersebut adalah :
1. Kekuatan Akidah atau Keyakinan
Kekuatan ini adalah kekuatan yang paling mendasar pada diri manusia. Orang yang berkeyakinan lemah tidak dapat melakukan sesuatu dengan baik, hanya dengan keyakinan yang kuatlah orang akan termotivasi melakukan suatu pekerjaan.
2. Kekuatan Organisatoris
Kekuatan ini adalah bagaimanaseseorang melakukan pekerjaan dengan manajemen yang baik. Seseorang akan termotivasi jika suatu pekerjaan dikelola dengan baik.
3. Kekuatan Intelektual
Kekuatan ini adalah kekuatan luar biasa dahsyat. Dengan kekuatan intelektual yang tinggi, seseorang akan termotivasi melakukan pekerjaan yang dipercayakan kepadanya. Kekuatan intelektual tersebut erat dengan pesimisme dan optimisme.
4. Kekuatan Teknokrat
Kekuatan ini erat kaitannya dengan teknologi. Semakin kuat penguasaan seseorang terhadap teknologi suatu pekerjaan. Semakin termotivasilah ia mengerjakan pekerjaan tersebut.
5. Kekuatan Demokratik
Kekuatan ini erat kaitannya dengan sikap dan gaya seseorang. Kekuatan ini merujuk pada kekuatan tim. Orang bijak mengatakan, no one of us as strong as all of us. Artinya, tak seorang pun dari kita sekuat kita semua. Akan tetapi harus ada kekuatan tim yang saling menutupi kekurangan masing-masing individu dan anggota tim.
6. Kekuatan Jiwa atau Takwa
Kekuatan ini merupakan faktor yang palong menentukan kelima kekuatan diatas. Kekuatan ini semacam perintah untuk melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya, bahkan bekerja digambarkan sebagai motivasi hidup.

BENTUK MOTIVASI

Dalam perwujudannya motivasi terealisasi dalam beberapa bentuk sesuai dengan arah tujuan dari individu yang memiliki motivasi tersebut. Winkle (2004) menyatakan lebih lanjut bahwa terdapat dua motivasi yang dapat membentuk perilaku:

a. Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik adalah motivasi yang menjadi aktif atau berfungsi tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu.
b. Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar. Motivasi ekstrinsik bukan suatu bentuk motivasi yang berasal dari luar, misalnya orang lain. Motivasi ekstrinsik selalu berpangkal pada suatu kebutuhan yang dihayati oleh individu sendiri, walaupun individu lain mungkin memegang peranan dalam menimbulkan motivasi tersebut.

Perbedaan Individu dalam Menghadapi Kesulitan

Stoltz (2005) mengemukakan bahwa setiap orang dilahirkan dengan dorongan untuk mendaki karena memang hidup ini bagaikan mendaki sebuah gunung. Tetapi walaupun begitu, setiap orang memiliki respon yang berbeda-beda pada pendakian, sehingga sukses yang didapat dalam hidupnya juga bervariasi. Maka berdasarkan AQ, terdapat tiga kelompok manusia yaitu :

1. Quitters (Pecundang atau Mereka yang Berhenti)
Adalah individu yang langsung berhenti di awal pendakian, memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti, cendrung untuk selalu memilih jalan yang datar dan lebih mudah. Individu umumnya bekerja sekedar untuk hidup, semangat kerja yang minim, tidak berani mengambil resiko dan cendrung tidak kreatif,menolak kesempatan, mengabaikan, menutupi atau meninggalkan dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki, meninggalkan hal yang ditawarkan oleh kehidupan. Tidak memiliki visi dam misi yang jelas serta berkomitmen rendah ketika menghadapi tantangan dihadapan.
2. Campers (Pekemah)
Adalah individu yang berhenti dan tinggal ditengah pendakian. Mendaki secukupnya dan berhenti kemudian mengakhiri pendakiannya. Umumnya setelah mencapai tingkat tertentu dari pendakiannya maka mencari tempat datar yang nyaman sebagai tempat persembunyian dari situasi yang tidak bersahabat. Fokusnya berpaling untuk kemudian menikmati kenyamanan dari hasil pendakiannya. Maka banyak kesempatan untuk maju menjadi lepas karena focus sudah tidak ada lagi pada pendakian. Sifatnya Satisficier, merasa puas diri dengan hasil yang sudah dicapai. Berbeda dengan Quitters, campers sekurang-kurangnya telah menghadapi tantangan pendakian dan mereka telah mencapai tingakt tertentu.
3. Climbers (Pendaki)
Adalah individu yang seumur hidup membaktikan dirinya pada pendakian, tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik, dan terus mendaki. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau cacat mental, atau hambatan lainnya yang menghalangi pendakian.

Dimensi-dimensi Advesity Quotient

Stoltz (2000) menjelaskan bahwa AQ terdiri atas empat dimensi yang disingkat dengan CORE (Control, Ownership, Reach, Endurance). Sebelumnya Stoltz (2000) mengatakan bahwa dimensi AQ terdiri dari Control, Origin, dan Ownership, Reach, dan Endurance (CO2RE). Dalam penelitiannya Stoltz mengatakan bahwa dimensi Origin dan Ownership saling berkaitan, seseorang harus menyalahkan orang lain untuk peristiwa yang buruk agar tetap gembira padahal orang yang paling efektikf adalah memikul tanggung jawab untuk menghadapi maslalah, tidak peduli apa yang mnyebabkan kesulitan. Jadi Stoltz memutuskan bahwa dimensi AQ adalah Control, Ownership, Reach, dan Endurance.
1. C = Control (Pengendalian)
Dimensi ini mempertanyakan: Berapa banyak kendali yang seseorang rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan? Kata kuncinya ialah merasakan. Dimensi ini adalah suatu awal yang paling penting dan tambahan untuk teori optimisme Seligman. Mereka yang AQ-nya lebih tinggi merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa dalam hidupnya daripada seseorang yang memiliki AQ yang lebih rendah dan mereka yang AQ-nya lebih tinggi cendrung melakukan pendakian dan relative kebal terhadap ketidakberdayaan, sementara orang yang AQ-nya lebih rendah cendrung berkemah atau berhenti.
2. O = Ownership (Kepemilikan)
Dimensi ini mempertanyakan: sejauh mana individu mengandalkan diri sendiri untuk memperbaiki situasi yang dihadapi, tanpa memperdulikan penyebabnya. Individu yang memiliki skor Ownership tinggi akan mengambil tanggung jawab untuk memperbaiki keadaan, apapun penyebabnya. Adapun individu yang memiliki skor Ownership sedang memiliki cukup tanggung jawab atas keesulitan yang terjadi, tapi mungkin akan menyalahkan diri sendiri atau orang lain ketika ia lelah. Sedangkan individu yang memiliki skor Ownership yang rendah akan menyangkal tanggung jawab dan menyalahkan orang lain atas kesulitan yang terjadi.
3. R = Reach (Jangkauan)
Dimensi ini mempertanyakan: sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang? Respon-respon AQ yang rendah akan membuat kesulitan memasuki segi-segi lain dari kehidupan seseorang. Semakin rendah skor R seseorang, semakin besar kemungkinannya orang tersebut menganggap peristiwa-peristiwa buruk sebagai bencana. Semakin tinggi R, semakin besar kemungkinannya orang tersebut membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.
4. E = Endurance (Daya tahan)
Dimensi ini mempertanyakan dua hal yang berkaitan : berapa lamakah kesulitan akan berlangsung? Dan berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung? Semakin rendah skor Endurance semakin besar kemungkinan seseorang menganggap kesulitan dan penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama.

Peranan Adversity Quotient dalam Kehidupan

Faktor-faktor kesuksesan dipengaruhi oleh kemampuan pengendalian individu serta cara individu tersebut merespon kesulitan, diantaranya berkaitan dengan :
1. Daya Saing
Jason Sattefield dan Martin Seligman (dalam Stoltz, 2005. h. 93), menemukan individu yang merespon kesulitan secara lebih optimis dapat diramalkan akan bersifat lebih agresif dan mengambil lebih banyak resiko, sedangkan reaksi yang lebih pesimis terhadap kesulitan menimbulkan lebih banyak sikap pasif dan hati-hati.
Individu yang bereaksi secara konstruktif terhadap kesulitan lebih tangkas dalam memelihara energy, focus dan tenaga yang diperlukan supaya berhasil dalam persaingan. Persaingan sebagian besar berkaitan dengan harapan, kegesitan, dan keuletan yang sangat ditentukan oleh cara seseorang menghadapi tantangan dan kegagalan dalam kehidupan.
2. Produktivitas
Penelitian yang dilakukan Stoltz, menemukan korelasi yang kuat antara kinerja dan cara-cara pegawai merespon kesulitan. Seligman (2006) membukitkan bahwa orang yang tidak merespon kesulitan dengan baik kurang berproduksi, dan kinerjanya lebih buruk daripada mereka yang merespon kesulitan dengan baik.
3. Kreativitas
Joel Barker (dalam Stoltz, 2005. h. 94), kreativitas muncul dalam keputusasaan, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti. Joel Barker menemukan orang-orang yang tidak mampu menghadapi kesulitan menjadi tidak mampu bertindak kreatif. Oleh karena itu, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang oleh hal-hal yang tidak pasti.
4. Motivasi
Dari penelitian Stoltz (2005) ditemukan orang-orang yang AQ-nya tinggi dianggap sebagi orang-orang yang paling memiliki motivasi.
5. Mengambil Resiko
Satterfield dan Seligman (dalam Stoltz, 2005) menemukan bahwa individu yang merespon kesulitan secara lebih konstruktif, bersedia mengambil banyak resiko. Resiko merupakan aspek esensial pendakian.
6. Perbaikan
Perbaikan terus-menerus perlu dilakukansupaya individu bisa bertahan hidup dikarenakan individu yang memiliki AQ yang lebih tinggi menjadi lebih baik. Sedangkan individu yang AQ-nya lebih rendah menjadi lebih buruk.
7. Ketekunan
Ketekunan merupakan inti untuk maju (pendakian) dan AQ individu. Ketekunan adalah kemampuan untuk terus menerus walaupun dihadapkan padakemunduran-kemunduran atau kegagalan.
8. Belajar
Carol Dweck (dalam Stoltz, 2005), membuktikan bahwa anak-anak dengan respon-respon yang pesimistis terhadap kesulitan tidak akan banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola-pola yang lebih optimis.
9. Merangkul Perubahan
Perubahan adalah bagian dari hidup sehingga setiap individu harus menentukan sikap untuk menghadapinya. Stoltz (2005), menemukan individu yang memeluk perubahan cendrung merespon kesulitan secara lebih konstruktif. Dengan memanfaatkannya untuk memperkuat niat, individu merespon dengan merubah kesulitan menjadi peluang. Orang-orang yang hancur dalam perubahan akan hancur oleh kesulitan.
 
Copyright © 2010 Inda Ayu Lestari | Design : Noyod.Com